Memahami Pengertian Hukum Perikatan dan Syarat Terjadinya Perikatan (Perjanjian)

Dalam buku III KUH Perdata terdapat tulisan mengenai azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang bebas membuat atau mengadakan perjanjian apapun asalkan tidak bertentangan dengan undang - undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian pasal - pasal dari hukum perjanjian yang terdapat di dalam buku III KUH Perdata hanya merupakan hukum pelengkap. Artinya pasal – pasal tersebut boleh dikesampingkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian.



Bahkan, para pembuat perjanjian ini pun boleh membuat ketentuan - ketentuan tersendiri. Ini karena pada buku III KUH Perdata menganut sistim terbuka, dimana hal ini disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Selain itu, dalam buku III KUH Perdata, juga dikenal adanya azas konsesualitas yang artinya adalah perjanjian itu dianggap telah mengikat sejak tercapainya kata sepakat di antara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Azas ini disimpulkan dari bunyi pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian.


Pengertian Perikatan dan Syarat Terjadinya Perikatan

Dalam ilmu hukum, pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi tertentu.



Tidak setiap hubungan hukum dapat disebut sebagai perikatan. Adanya suatu perikatan harus memenuhi beberapa beberapa syarat. Syarat dari adanya suatu perikatan, yaitu sebagai berikut :

a. Adanya hubungan hukum
Hubungan hukum yang dimaksud yaitu hubungan yang diatur dan dijamin oleh hukum. Dengan adanya hubungan hukum, maka timbulan suatu hak yang melekat pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya.

Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan yang disepakati tadi, maka hukum memaksakan agar hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan kembali.

b. Terjadi dalam lapangan harta benda (kekayaan)
Untuk menilai dan menentukan suatu hubungan hukum itu merupakan suatu perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran - ukuran (kriteria) tertentu yang harus dipenuhi. Ukuran tersebut adalah bahwa hubungan hukum itu harus terjadi dalam lapangan harta benda.

Hal ini artinya, hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang. Namun, apabila masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum dari hubungan tadi.

c. Adanya dua pihak,yaitu kreditur dan debitur
Di dalam setiap perikatan, selalu terdapat dua pihak, yakni pihak yang yang berkewajiban yang disebut sebagai “debitur“ dan pihak yang berhak yang disebut sebagai “kreditur”. Kedua pihak ini pula yang disebut sebagai subyek perikatan.

Seorang debitur harus selamanya diketahui atau dikenal dengan baik, sebab seseorang tidak dapat menagih dari seorang yang tidak dikenalnya. Lain halnya dengan kreditur. Kreditur dapat diganti secara sepihak tanpa bantuan atau sepengatahuan debitur.

Misalnya cessie. Cessie artinya memindahkan piutang kepada seseorang yang telah membeli piutang itu. sebagai contoh, semisal Ananda membeli mobil dari Dodi. Kebetulan, mobil tersebut diasuransikan.

Dengan terjadinya peralihan hak mobil itu kepada Ananda, maka sekaligus pada saat yang sama Ananda mengambil alih juga hak asuransi dari mobil Dodi. Jadi, dalam hal ini, Ananda menggantikan kedudukan Dodi sebagai kreditur.

Pada debitur ada dua unsur yaitu schuld dan hoftung. Schuld yaitu kewajiban debitur untuk membayar utang kepada kreditur, sedangkan haftung adalah setiap harta benda debitur yang dipertanggung jawabkan bagi pelunasan utang debitur.

Sebagai contoh, Alda punyai hutang Rp 200.000 kepada Rosa. Karena Alda tidak bisa membayar hutangnya ini, maka harta benda Alda dapat dilelang.

d. Adanya prestasi
Pada pasal 1234 KUH Perdata, disebutkan bahwa tiap - tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, dimana hal ini artinya :

  1. Memberikan sesuatu. Maka, prestasinya berupa menyerahkan barang. Misal, penjual berkewajiban menyerahkan barang yang telah dibeli pelanggan dengan jaminan yang dapat dipertanggung jawabkan
  2. Berbuat sesuatu. Contohnya, perusahaan A berjanji kepada ketua kampung untuk tidak jadi mendirikan pabrik di sekitar kampungnya tersebut.

Baca juga : 10 Macam Cara Berakhirnya Perikatan atau Perjanjian


Menurut pasal 1338 KUH Perdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti semua perjanjian yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah bersifat mengikat bagi mereka yang mengadakannya.


Perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Biasanya, bentuk perjanjian itu bebas, dalam arti boleh diadakan dengan lisan atau pun tulisan.

Namun, untuk keperluan pembuktian, orang lebih suka membuat atau mengadakan perjanjian secara tertulis sehingga lebih terpercaya dan terjamin. Bahkan, ada pula keharusan dari suatu perjanjian yang dibuat dengan akte otentik yaitu perjanjian yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, seperti misalnya Notaris.